Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Tulisan pak Faizin : Catatan Akhir Ramadhan 1439 H


Bagi seorang pencari, tiada yang lebih membahagiakan dari berbagi catatan pencariannya. Dan berikut catatan yang ingin saya bagi untuk para pembaca, semoga Ramadhan anda berakhir sempurna.
BER-IDUL FITRI SEBAGAI PRIBADI SEJATI
Alhamdulillah sekarang di sinilah kita, di penghujung bulan Ramadhan. Serangkaian latihan telah dilewati untuk membentuk diri menjadi pribadi sejati, pribadi yang dalam istilah al-Qur'an disebut Manusia Bertakwa (Muttaqin). Di tengah situasi sosial post-modern yang semakin tidak terkendali, pelajaran dari puasa Ramadhan semakin relevan untuk direalisasi.

Modernitas pada banyak aspek telah menjadikan manusia melampaui batas. Modernitas, mengutip Antony Giddens, seperti Juggernaut (panser raksasa) yang bergerak hilang kendali melindas apa saja. Menjadi pribadi Muttaqin, sebaliknya, adalah menjadi manusia yang mampu mengendalikan dirinya.
Puasa tidak sekedar menggeser jadwal konsumsi. Ia adalah bentuk pengendalian pada aspek-aspek biologis yang cenderung mencari pelampiasan pemuasan (an-nafs al-lawwamah). Secara biologis kita adalah binatang, tanpa adanya kesadaran pengendalian nafsu maka manusia benar-benar berperilaku seperti binatang atau bahkan lebih buruk (Ulaaika kal an'am, bal hum adhol).
Harari dalam buku Sapiens menunjukkan manusia yang awalnya tidak signifikan kemudian menjadi makhluk dominan di bumi ini. Namun manusia bukan hanya makhluk paling maju, namun juga paling merusak. Dan kini kita menatap potensi bencana sosio-ekologis disebabkan kerakusan itu, padahal visi agama kita adalah manusia sebagai Khalifatullah meniscayakan kita selaku penjaga dan pemelihara alam. Disebutkan dalam hadits "Al-Ard kulluha masjidan, bumi itu adalah masjid", visi spiritualitas alam yang indah.
Masyarakat modern adalah masyarakat konsumsi, La societe de concommation kata Baudrillard, yang rakus dan membeli bukan karena manfaat namun citra. Orang berpuasa mampu membeli makanan, namun ia menahan diri untuk tidak makan. Ini simbol bahwa meski mampu memenuhi keinginan, tidak semua hasrat itu harus dipuaskan. "Makan minumlah kamu tapi jangan berlebihan karena Allah tidak suka orang berlebihan", demikian kata al-Qur'an.
Sistem ekonomi liberal yang rapuh karena dibangun di atas dasar penipuan seperti riba' dan seigniorage (penjualan uang dengan uang) akhirnya menciptakan ketimpangan ekonomi tinggi. Indonesia termasuk negara dengan kesenjangan tinggi akibat mengejar pertumbuhan ekonomi semu, padahal pijakan filosofi negara sejatinya adalah kesejahteraan (welfare) bukan pertumbuhan ekonomi semata. Berderma, yang sangat dianjurkan untuk diperbanyak saat Ramadhan, mengajari kita untuk tidak lekat pada harta.
Karena mengejar pertumbuhan, maka kita terlalu bernafsu bekerja mengumpulkan uang mengakumulasi modal. Siklus hidup kita jadi sekedar siklus kerja, kering spiritualitas. Padahal manusia tidak hanya makhluk ekonomi (homo economicus) tapi ia juga makhluk beragama (homo religious). Shalat tarawih, i'tikaf, dan berdzikir adalah pelajaran agar kita menengok spiritualitas kita. Mengalokasikan waktu dan ruang sakral (suci), karena kata Eliade, manusia beragama butuh ruang dan waktu yang suci.
Berpuasa Ramadhan adalah berproses menjadi welas asih, dan siapakah sebaik-baik contoh (al-uswah al-hasanah) manusia sejati itu? Dialah Nabi Muhammad SAW. Berpuasa Ramadhan adalah cara menghadirkan Rasulullah dalam diri kita. Sosok yang digambarkan oleh Rumi: "Wangi angin musim semi berasal dari rambutnya yang dirahmati. Cahaya imajinasi kita datang dari keindahan dirinya, yang mengingatkan kita pada mentari pagi".
Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat berwelas asih, selamat ber-Idul Fitri.
Ahmad Faizin Karimi, S.Th.I., M.Si.
Founder Sekolah Menulis Inspirasi

Post a Comment

0 Comments