Pengurus Ikatan Guru
Indonesia (IGI) Cabang Gresik tengah getol mengembangkan digibook alias buku digital. Saban Minggu, mereka
berkumpul di rumah Sukari Darno, salah satu pengurus IGI Gresik untuk
mempelajari apa saja yang dapat dimanfaatkan dari digibook demi kepentingan pembelajaran.
Demi keperluan itu, mereka
membeli perangkat teknologi pendukung yang berbasis android. Hasil diskusi dari
pertemuan rutin tersebut akhirnya diwujudkan Ahad, 31 Maret 2013, di gedung
Pusat Penelitian Semen (PPS) milik PT Semen Gresik, Jalan A. Yani, Kota Gresik.
IGI Gresik meluncurkan program satu guru satu tablet (sagusata). Kegiatan ini
diresmikan oleh Sekjen IGI Moh. Ihsan dan Ketua IGI Gresik Marjuki.
Sebelumnya, Ihsan
mengutarakan bahwa digitalisasi semakin tak terelakkan. ”Belajar dengan
memanfaatkan teknologi digital pun semakin mudah dan menyenangkan,” ujarnya di
hadapan para guru yang mengikuti diskusi buku Memoar Guru dan workshop digibook yang
dihelat IGI Gresik pada Minggu (31/3).
Ia mencontohkan belajar
matematika yang terkait dengan bangun kubus. Dengan memanfaatkan software edukatif, belajar secara digital tentang
kubus menjadi mudah, menarik, sekaligus hemat karena tidak memerlukan perangkat
lain seperti gunting, kertas karton, dan lain-lain.
Untuk itu, Sukari yang
didapuk sebagai salah satu narasumber menjabarkan lebih banyak tentang digibook. Termasuk, pengembangan aplikasi serta
pemanfaatannya sebagai media pembelajaran.
Lantas, dengan kemajuan
teknologi yang kian canggih dan adanya digibook, bagaimana
nasib buku cetak? Seperti diketahui, majalah mingguan Newsweek yang punya tiras sebesar 1,5 juta
eksemplar per edisi akhirnya menghentikan versi cetaknya. Tentu saja kabar ini
sangat mengejutkan.
Sebagaimana dituturkan
Ihsan, para siswa di Amerika Serikat sudah mulai meninggalkan buku cetak.
Kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. Tak
heran, dalam dialog Hamlet yang masyhur itu disebutkan bahwa to go digital or die.
Melihat gempuran teknologi
seperti ini, tak heran jika banyak kalangan yang menilai bahwa keberadaan digibook tak terelakkan lagi. Alhasil, industri
penerbitan yang bergerak di bidang buku cetak mengalami kelesuan. Apalagi, saat
ini banyak e-book yang bisa diunduh
dengan mudah dan gratis.
Namun, secara pribadi, saya
melihat bahwa buku cetak masih memiliki daya tarik. Ia masih memiliki peran
penting dalam memenuhi kebutuhan literasi masyarakat. Di sisi lain, baik buku
cetak maupun digibook memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing.
Digibook lebih
ringkas dan praktis dibandingkan buku cetak. Dalam satu tablet, seseorang bisa
membaca atau mengunduh banyak buku digital. Namun, buku cetak mampu menyimpan
romansa tersendiri bagi penggemar fanatiknya. Ada ikatan emosional yang begitu
kuat sehingga sayang jika ”hilang” begitu saja seperti ”punahnya” kaset seiring
dengan munculnya MP3.
CEO Penerbit Bentang Pustaka
Salman Faridi mengaku lidahnya kelu saat melihat film dokumenter Home: We Have a Date With a Planet. Ini
mengisahkan tentang bumi yang mengalami kerusakan luar biasa. Termasuk
hilangnya banyak pohon yang menjadi bahan baku kertas, yang notabene sumber
utama buku cetak (Mizan.com).
Kekhawatiran ini mungkin bisa diatasi salah satunya dengan pemanfaatan kertas
daur ulang yang ramah lingkungan.
Di sisi lain, kita tak boleh
lupa bahwa teknologi semakin maju. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri.
Yakni, perubahan yang selalu mengikuti perkembangan teknologi. Bisa jadi saat
ini digibook mulai mendapat tempat di negara-negara
maju dan berkembang.
Namun, tak ada yang bisa meramalkan kelanggengan atau nasib
suatu buku. Baik buku cetak maupun buku digital. Pada akhirnya, yang menentukan
nanti adalah manusia sebagai pengguna produk itu sendiri.
Yang pasti, buku cetak masih
akan ada dan tetap diperlukan, terutama di Indonesia. Apalagi, kemajuan
teknologi informasi dan internet belum sepenuhnya bisa dinikmati secara merata
oleh masyarakat kita di seluruh nusantara. Namun, kita juga tidak harus menutup
mata akan keberadaan dan perlunya digibook.
Sebab, pada dasarnya, kemajuan teknologi justru memberikan
fasilitas kemudahan bagi manusia. Jika tidak memanfaatkannya secara baik dan
maksimal dalam bidang ilmu pengetahuan, kita bakal semakin jauh tertinggal dari
negara lain.
Yang paling realistis adalah penggunaan secara berimbang dan wajar
tanpa harus menilai bahwa salah satu di antaranya pantas ditinggalkan.
Ibaratnya, jangan tinggalkan dulu buku cetak karena di situ tersimpan hubungan
emosi yang kuat dan banyak nostalgia. Kita tentu tak ingin kehilangan romansa
bersamanya. Bukan begitu?
Kota Pahlawan, 1 April 2013
0 Comments