Pohon Siwalan, atau dikenal juga dengan nama Lontar banyak tumbuh di daerah pantai di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pohon Palma ini menghasilkan Buah Siwalan yang nikmat dijadikan campuran es Dawet-Siwalan, apalagi jika minumnya sambil menikmati hembusan angin dan suasana pantai. Sadapan tongkol buah Siwalan juga bisa dimasak menjadi gula merah, atau difermentasi menjadi minuman beralkohol.
Dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia bisa menghasilkan gula merah atau olahan makanan lain yang sangat banyak. Tapi masalahnya bukan pada panjang pantai, bukan pula jumlah pohon yang berkurang. Masalahnya ada pada petaninya: tidak ada lagi anak muda yang mau menekuni budidaya ini. Para petani Siwalan di Pantai Utara Jawa Timur misalnya, mereka mengeluhkan betapa anak mereka tidak mau meneruskan aktifitas orang tuanya ini. Jika tidak kuliah di luar daerah belajar ilmu yang tidak ada kaitannya dengan potensi lokalnya, ya langsung bekerja. Dan—ironisnya—yang dimaksud bekerja adalah menjadi buruh industri atau buruh migran.
Soal tata kelola negara, lihat saja bagaimana tiap musim tanam harga pupuk naik, menjelang panen pasti ada kebijakan impor, dan saat panen harga hasil tanam turun. Lihat saja bagaimana beragam regulasi membuat sektor produksi tradisional sulit berkembang. Serta bagaimana minimnya peran pemerintah dalam pengembangan sektor-sektor tradisional tersebut.
Modernisasi-industrialisasi, tidak diragukan lagi. Gaya hidup modern menjebak generasi muda pada pilihan-pilihan profesi yang terkesan “stylish” dan meminggirkan profesi tradisional. Industrialisasi menawarkan “pekerjaan bergaji stabil UMK” daripada keuntungan profesi tradisional yang (dibuat) tidak jelas.
*Profesionalisme*
Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers mengemukakan “Kaidah 10.000 jam” yang menjadi faktor penentu profesionalisme seseorang. Tidak peduli apakah dia pemusik seperti kelompok Beatles, Mozart, atau ahli IT seperti Bill Gates, rata-rata mereka membutuhkan 10 ribu jam latihan untuk menjadi profesional. Bukan bakat alami atau guru yang hebat semata, namun praktik intensif selama kurang lebih 10 ribu jam itu.
Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers mengemukakan “Kaidah 10.000 jam” yang menjadi faktor penentu profesionalisme seseorang. Tidak peduli apakah dia pemusik seperti kelompok Beatles, Mozart, atau ahli IT seperti Bill Gates, rata-rata mereka membutuhkan 10 ribu jam latihan untuk menjadi profesional. Bukan bakat alami atau guru yang hebat semata, namun praktik intensif selama kurang lebih 10 ribu jam itu.
Ada hubungan erat “Kaidah 10.000 jam” ini dengan pendidikan serta profesionalisme pekerja kita. Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau di tengah masyarakat, sulit menemukan seseorang yang punya skill profesional di bidangnya. Sebagian besar lulusan persekolahan kita tidak punya skill profesional. Ketiadaan skill profesional ini membuat mereka sulit diterima sebagai pekerja bergaji tinggi atau membuka lapangan pekerjaan sendiri.
Separuh usia hidup mereka telah mereka gunakan untuk “belajar” namun sesungguhnya mereka tidak mempelajari apapun! Benar bahwa puluhan tahun mereka disodori beratus-ratus teori, namun tidak satu pun dari teori itu yang benar-benar mereka kerjakan secara nyata selama kurun waktu yang cukup. Akhirnya mereka bingung setelah lulus kuliah, “what next? Setelah ini apa?”
Sistem pendidikan yang kita ikuti selama ini bukanlah sistem pendidikan yang sesuai kultur masyarakat kita. Profesor James Tooley berkeliling negara-negara berkembang di Asia dan Afrika dalam bukunya The Beautiful Tree: a Personal Journey into how the world’s poorest people are educating themselves” mengungkap bahwa sebelum sistem Barat memaksakan pikirannya, masyarakat asli sudah punya model pendidikan sendiri. Namun kekuatan imperium memang pada akhirnya membuat yang dijajah mengambil sebagian konsep-konsep imperium itu, sebagaimana diuraikan Yuval Noah Harari dalam Sapiens-nya. Sebenarnya sah-sah saja kita mengadaptasi konsep pendidikan Barat itu, namun harus tetap kita sesuaikan.
Ketika seorang anak petani Siwalan pergi sekolah, ia sesungguhnya meninggalkan pelajaran berharganya: praktik. Tentu, kecuali saat ia pulang kemudian membantu orang tuanya lagi. Mulai TK hingga perguruan tinggi ia telah melewatkan kesempatan emas mendapatkan pengalaman praktik “10.000 jam” dan menukarkan waktunya untuk mempelajari hal-hal yang tidak relevan. Ketika seorang anak nelayan tidak sempat ikut bertualang menangkap ikan, ia melewatkan peluang menjadi nelayan profesional. Saat lulus sekolah dan jika terpaksa ia menjadi nelayan karena kompetensi yang serba tidak jelas, ia harus menghitung 10 ribu jam itu dari awal.
Jika Freire membuat istilah “Pendidikan yang Membebaskan” maka bisa jadi sistem persekolahan kita malah menjadi penjara bagi kemunculan sumber daya manusia yang profesional. Kecuali kita mengubah pola pembelajaran menjadi lebih berbasis praktik dipadu dengan aktifitas literasi untuk penguatan kesadarannya. Jika tidak, maka pendidikan kita akan menjadi pendidikan yang mematikan, The Deadly Education. Semoga tidak.[]
*Ahmad Faizin Karimi*
_Founder Sekolah Menulis Inspirasi_
_Founder Sekolah Menulis Inspirasi_
0 Comments