Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Keterbukaan Diri Kunci Berorganisasi

Abdullah Halim. (Dokumen pribadi/IGI Gresik)
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari kelompok-kelompok manusia karena memiliki dua keinginan, yaitu: keinginan untuk menjadi satu dengan manusia yang lain di sekelilingnya (masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya. Sehingga manusia dapat mengembangkan potensinya, bila ia hidup di tengah-tengah manusia. Peranan manusia sebagai makhluk sosial, sejatinya sudah menjadi kodratnya secara lahiriyah. Setiap kegiatan yang dilakukan guna keberlangsungan hidupnya, disadari atau tidak disadari memiliki konteks dalam kehidupan sosial.

Menurut Murtadlo Munthahari, manusia adalah makhluk serba dimensi, hal ini dapat dilihat dari;

§ Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan hewan yang membutuhkan makan, minum, istirahat dan menikah supaya ia dapat tumbuh dan berkembang.

§  Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian.

§  Dimensi ketiga, manusia memiliki perhatian terhadap keindahan.

§  Dimensi keempat, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan.

§  Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena ia dikarunia akal, pikiran, dan kehendak bebas, sehingga ia mampu menahan hawa nafsu dan menciptakan keseimbangan dalam hidupnya.

§  Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya.

Sehingga tidak asing lagi dengan kalimat yang menyatakan bahwa “manusia adalah makhluk sosial” karena interaksi yang terjadi antara seseorang dengan yang lain, merupakan bentuk atau ciri khas dari makhluk itu sendiri.

Alfred North Whitehead mengatakan, “Tidak ada satu orang pun yang meraih keberhasilan tanpa melibatkan bantuan dari orang-orang lain." Sehingga, yang  ditekankan adalah kita harus mengembangkan kualitas diri untuk memelihara hubungan tersebut, salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas kepemimpinan (leadership) yakni kemampuan individu dalam memobilisasi dan melibatkan dirinya dan orang lain untuk meraih cita-cita yang diidealkan bersama.

 

Pada dasarnya setiap manusia memiliki jiwa kepemimpinan dan potensi untuk menjadi pemimpin, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Namun, sebagai mahluk sosial yang berkenaan dengan orang banyak, mereka yang terpilih sebagai pemimpin perlu memperhatikan kualitas leadership yang berorientasi pada kepentingan bersama dan tidak bersifat dominan. Maka, untuk melatih itu, manusia dapat melatih berorganisasi. Organisasi pada dasarnya merupakan tempat di mana orang-orang berkumpul, bekerja sama secara rasional, sistematis, terkendali, dan memanfaatkan sumber daya (dana, material, lingkungan, metode, sarana, prasarana, data) yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan bersama. Berbagai kesempatan dan peluang terbuka lebar untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik. Bertemu dengan berbagai jenis manusia akan membuat lebih paham bahwa manusia dapat belajar dari kemampuan manusia lainnya.

Dan yang perlu ditanamkan untuk berorganisasiterbentuknya komitmen dalam diri manusia karena komitmen merupakan suatu pendirian atau ketangguhan untuk tetap berpegang teguh hati untuk berpegang teguh pada pelaksanaan visi, misi, tujuan, strategi, dan sasaran yang telah disepakati. Komitmen berkaitan dengan kosistensi.

Konsistensi terbentuk dari keteguhan diri untuk tidak mengubah keputusan atau komitmen, baik dalam hal visi, misi, dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Sehingga seseorang yang melakukan berorganisasi dengan baik akan terbentuk  sifat kredibel, visioner, loyal, jujur, berintegritas, akuntabel, kritis, kolaboratif, negosiatif, kreatif, komunikatif, dan humanis karena kualitas-kualitas tersebutlah yang akan membentuk leadership yang kokoh namun inklusif. Pembentukan komitmen dalam pelaksanaan pengembangan organisasi menjadi sangat urgen. Mereka akan terbuka untuk memberikan informasi tentang berbagai aspek yang menghambat perubahan dan kemudian menerima kesepakatan perubahan atau pengembangan organisasi. Mereka memberikan sikap positif dan mendukung terhadap perubahan organisasi dan melaksanakan tindakan nyata sehingga terjadi peningkatan kinerja organisasi.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penolakan perubahan pada tingkat individu untuk berorganisasi, diantaranya:

Pertama: faktor kebiasaan.  Jika ada ketentuan baru untuk mengubah kebiasaan, akan cenderung menolaknya. Terdapat juga yang sudah melembagakan cara kerja, sehingga jika ada perubahan cara kerja baru, cenderung menolaknya.

Kedua: ancaman terhadap rasa aman. Apabila ada perubahan yang akan menimbulkan perubahan rasa aman dalam jabatan, pekerjaan, karier, dan penghasilan, maka seseorang cenderung akan menolak perubahan.

Ketiga: alasan pendapatan.  Jika mengancam perubahan terhadap ketrampilan yang sudah biasa dilakukannya. Hal ini dapat dihubungkan dengan rasa takut akan tingkat pendapatannya.

Keempat: Ketakutan akan hal-hal bersifat asing. Pada umumnya manusia cenderung untuk tidak menerima hal-hal yang baru yang belum dikenalnya atau bersifat ”asing”, sehingga hanya orang-orang yang memiliki karakter inovatif yang mau penerima hal-hal baru tersebut.

Komitmen ini dapat dibentuk melalui keterbukaan pikiran, keikhlasan hati, dan perspective yang luas tentang organisasi bahwa manusia memang membutuhkan sebuah perubahan atau upgrade dalam dirinya sebagai makhluk sosial sehingga menambah pengetahuan dan wawasan, timbulnya semangat kerjasama, mengembangkan kemampuan public speaking, melatih jiwa kepemimpinan, membentuk emotional intelligent, dan lain-lain. Akhirnya, pandangan yang menganggap bahwa organisasi menghambat kemajuan atau mengganggu waktu manusia dapat terbantahkan bahkan sebaliknya bahwa dengan organisasi manusia dapat melupakan sesuatu untuk lebih menjadi manusia yang seutuhnya. Demikian yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat. Aamiin. 

 Abdullah Halim.

Bidang Organisasi, Kelembagaan, dan Keanggotaan

IGI Kab. Gresik

Post a Comment

0 Comments