Dan karena kemuliaan adalah rahmat bagi yang ikhlas
– Mario Teguh
“Maaf, bu…kami sudah berusaha sebaik mungkin tetapi sepertinya hasilnya tidak seperti yang kita harapkan” kata Dokter Tubagus, dokter jaga NICU ( Neonatal Intensive Care Unit), memecah keheningan di ruangan dingin ini.
“Mm..maksudnya, Dok?” tanyaku terbata
“Kondisi putri ibu semakin turun, trombositnya terus
menurun. Hasil laporan terakhir hanya 8.000 permilimeter darah. Detak
jantungnya sangat lemah 40 permenitnya. Kami sudah melakukan tindakan secara maksimal. Hanya Tuhan yang
bisa memberi keajaban bagi putri ibu”
Aku sudah tidak mampu lagi untuk mendengar dan mencerna
kalimat sisanya. Telingaku berdenging nyaring. Tubuhku bergetar. Rasa dingin yang sangat mengaliri seluruh tubuhku. Dingin
dan ngilu. Hatiku diliputi ketakutan dan trauma yang mendalam. Rasa yang pernah
hadir 5 tahun silam.
Ini adalah kali ke 2 kami harus berada dalam ruangan
khusus dokter jaga ruang NICU untuk mendengar kalimat yang sama. Kehilangan
buah hati pertama dan kemungkinan akan
kehilangan lagi tentu saja bukannlah takdir
yang ingin kami jalani. Kuraih tangan suamiku, untuk mengais sisa sisa kekuatan. Tapi tangan
itupun terasa sangat dingin.
“Sabar, ya….” Bisiknya lemah sambil menatap mataku.
Mata itu begitu terluka.
Mata itu menangis tanpa air mata yang telah mengering
sejak seminggu yang lalu. Aku hanya bisa mengangguk pelan tanpa makna. Di
hadapanku hanya tergambar sebuah lorong gelap, tak berujung. Tak tahu lagi bagaimana
gambaran hidup tanpa kehadiran buah
hati lagi. Pasti terasa sepi dan
menyakitkan.
“Bapak dan Ibu bisa menunggu sambil terus berdoa.
Nanti kami akan menyampaikan setiap detail
perkembangannya” Kata Dr. Tubagus lagi.
Kami beringsut pelan untuk meninggalkan ruang dingin
ini untuk kembali ruang tunggu. Sebuah selasar yang memanjang di bagian sisi bagian
luar ruang NICU. Kakiku serasa lemas. Tak mampu menanggung beban duka. Selasar ini terasa semakin sepi dan hampa. Dinding
yang kusam dan lusuh menggambarkan
harapanku yang sudah tak bersisa. Kuhempaskan tubuhku di atas tikar tipis yang
menemani malam malam kami yang penuh harap dan cemas.
Ku duduk tersimpuh, menenggelamkan kepalaku diantara
dua kakimu. Ingin menangis dan berteriak melambungkan tanya pada Sang Pemilik
Kehendak. Tapi aku sudah tidak mampu, hatiku sudah teramat lelah untuk menerima
apa yang akan terjadi. Semua terasa kosong dan gelap. Hanya bisa berbisik melantunkan doa, tanpa
tahu doa apa yang harus aku lantunkan.
Kondisi Karin, yang sudah koma dan mengalami
kejang sejak 3 hari yang lalu
memberiku pilihan yang sangat sulit.
Teringat jelas perkataan dokter jaga tadi pagi
“ Ibu, berdoa untuk meminta yang terbaik, nggih.
Jangan memaksa Tuhan untuk membangunkan adik Karin dari komanya. Gejala sisa
dari masa kritis ini luar biasa. Jika dia bisa melewati masa kritis ini dan
sembuh, perkembangan selanjutnya akan bisa sangat menyakitkan baginya.
Kemampuan motorik dan kognisinya akan sangat terganggu dan secara fisik dia aka
nada masalah di bagian tubuh sebekah kirinya. Jalannya akan timpang dan tangan
kirinya tidak akan berfungsi dengan baik”
Sebuah pilihan keadaan yang tidak ingin dialami oleh
ibu di seluruh dunia. Bagaimana bisa aku melihat anak gadisku harus menanggung
semua ini. Tetapi seorang ibupun tak akan ingin kehilangan anak semata
wayangnya. Hati dan jiwaku masih belum
siap untuk kehilangannya. Membayangkan betapa sepi dan kosongri hariku tanpanya.
*****
Pekerjaan Suamiku sebagai pelaut memaksanya untuk
kehilangan banyak waktu bersama keluarga. Hanya seminggu per bulan dia
berkumpul bersama kami. Praktis hanya Karin yang menemaniku menghitung hari
menunggu kedatangannya. Berusaha melalui
hari hari dengan penuh tawa agar Karin tidak perlu merasa kehilangan
moment bahagia walau tanpa kehadiran seorang ayah.
“Mama deli, ma….deli” teriaknya setiap kali kucium
ketiaknya sambil menyibakkan rambutku
yang menyentuh pipinya.
Dia memang tidak mampu berucap dengan jelas di usia 5 tahun.
Kejang yang sering dia alami ketika demam tinggi, mengganggu kemampuan
berbicaranya, tapi tidak dengan empatinya. Dia menjadi kesayangan tetangga,
teman teman dan gurunya. Sebelum berangkat ke sekolah, dia akan berdiri di
depan rumah menyapa setiap orang yang lewat. Dia inggin semua orang tahu bahwa
dia siap untuk berrangkat ke sekolah. Dia juga akan mendatangi setiap rumah hanya
untuk menyapa dan berpamitan.Begitu juga setelah datang dari sekolah, dia
banyak menghabiskan waktu bersama tetangga sembari menungguku pulang dari
kantor.
Sebelum tidur, kami biasa bertukar cerita tentang
aktifitas hari ini. Dia akan bercerita tentang
Rio, teman sekelasnya, yang selalu mengganggunya.
“Ma, lio hali ini pinjam clayon kalin, tapi pas kalin
minta, gak dikasih” katanya sambil
cemberut
“Wah, gak boleh, kalau minjam harus dikembalikan .
Besok coba minta lagi ke Rio, kalau dia
tidak mengembalikan bilang saja ke
ustadzah” sahutku sambil mengusap lengannya yang sangat berisi, kenyal dan
empuk dengan bau keringat khasnya yang selalu membuatku ingin terus
menciuminya.
“Iya, besok kalin akan bilang ke ustadzah. Kalau
temannya mama ada yang nakal gak? Kalau teman mama nakal nanti akan kalin
malahi terus dijewel telinganya” katanya sambil menatap mataku dengan serius
“Teman mama kan bapak ibu guru, masa ada yang nakal”
sahutku
“iya ya, seperti ustadzah kalin, semuanya sayang
kalin” sahutnya sambil membetulkan selimutnya.
Aku jadi teringat percakapan tadi pagi dengan Ustadzah
Diah, wali kelasnya.
“Bund, setiap kali saya melihat Karin hati saya selalu
merasakan hal berbeda. Dia begitu special, cara dia memperlakukan teman
temannya, cara dia bercerita dan cara dia tertawa membuat saya selalu
menantikan saat bertemu dengannya. Saya sering bercerita pada ibu saya tentang Karin.
Ibu saya hanya berkata biasanya anak yang special seperti itu dihadirkan untuk
membahagiakan, tapi tidak dalam waktu yang lama” ucap beliau sambil menggenggam
tanganku erat
Deg,
kalimat terakhir ustadzah membuatku kaget.
“ Maksud ustadzah bagaimana nggih” tanyaku penasaran
“Oh…tidak kok Bund, maksud saya biasanya anak anak
seperti itu adalah anak anak spesial yang dipilih oleh Allah untuk memberi
sinar dalam kehidupan kita” ucapnya terburu buru sambil bergegas meninggalkanku.
Aku
terpaku sembari melihatnya pergi.
Ah, mungkin beliau hanya salah ucap,
batinku menghibur diri. Dan saat ini
ucapan Ustadzah Diah seakan benar.
Ya Allah, haruskah aku kehilangan kehidupanku untuk
kedua kalinya. Haruskah aku kembali menjalani
malam malam panjang penuh air mata dan
rasa bersalah. Aku benar benar bukan ibu yang baik yang bisa menjaga putrinya
seperti orang tua lainnya. Aku sering abai, sering lalai dan tidak ada disampingnya ketika dia
membutuhkanku.
Ah, rasa sesal ini semakin menyesakkan dadaku. Membuat nafasku semakin berat.
“Ma, kepala kalin pusing , pelut kalin sakit” Ucapnya
pagi itu, 2 minggu yang lalu.
Cepat
ku sentuh dahinya.
“Karin panas, minum obat ya, nanti sore kita ke rumah
sakit karena mama ada tugas ke luar sebentar” kataku panik sambil mengambilkan
obat panas. Harusnya aku tidak meninggalkan Karin untuk memberi materi di kegiatan pelatihan . Harusnya hari itu aku bersamanya.
Tepat jam 10.34, telfonku berdering. Kuangkat telfon
dengan cepat. Terdengar suara Asih dengan cemas
“Buk, Karin kejang”
“Ya allah, cepat cari bantuan, mbak! Saya akan segera
pulang” kataku cepat
Langsung ku tutup telfon dan berlari secepatanya
meninggalkan pelatihan.Tak kupedulikan tatapan heran dari para peserta dan panitia
penyelenggara. Kupacu kendaraanku secepat mungkin sembari terus memberi perintah
ke pada Asih untuk mengkompres dan meransang penciuman Karin dengan
alkohol. Butuh waktu 25 menit untuk
sampai di rumah. Tapi terasa setahun.
Lututku terasa lemas hampir tak mampu untuk menginjak pedal rem.
Sesampai di rumah, tampak Asih yang masih menangis
dikerumini beberapa tetangga yang berusaha untuk menyadarkan Karin. Kusibak
kerumuman dan memeluk Karin sambil terus memanggil namanya.
“Karin, bangun.Ini mama, Nak” tangisku pecah.
Kuguncang guncang tubuhnya yang mulai sadar.
Matanya
mengerjab. Dia mulai menangis.
“Mama, Kalin dingin” ucapnya dengan lemah.
“Asih, Cepat siapkan keperluan Karin!. Kita akan ke
rumah sakit”
Kudekap tubuh Karin yang mulai menggigil dengan
selimut tebal. Giginya kemeretak.
Bibirnya tampak membiru. Kuangkat Karin ke dalam mobil. Kubaringkan di pangkuan
Asih. Dalam hitungan menit kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.
Pikiranku sudah tidak menentu. Trauma kehilangan Prita, putri pertamaku, terus
berkelenat di mataku. Aku tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Ya allah,
jangan ambil putriku, keluhku sambil terus menghapus air mata yang sudah tidak
dapat lagi ku tahan.
Karin segera ditangani di ruang IGD. Suhu tubuhnya 40,
2 derajat celcius. Perawat memasukkan
obat panas melalui duburnya agar suhu tubuhnya segera turun. Waktu terus
berlalu tapi kondisi Karin tidak semakin baik. Beberapa kali. Hingga akhirnya
dia sudah tidak pernah siuman hingga hari ini.
“Ma, mama tidak ingin menenui Karin kah?” Ucapan
lembut suamiku mengembalikan ku dari lamunanku.
“Mama tidak tega, Pa” sahutku ragu
“Karin butuh mama, masuk yuk” Ucap suamiku sambil
membimbingku menuju ruang NICU. Kukumpulkan keberanianku untuk melangkah.
Kusiapkan hatiku untuk menemuinya dengan keadaan yang tidak lagi sama.
Tampak di hadapanku tubuh putriku terbujur kaku dengan
dipenuhi kabel dan selang. Wajahnya tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara
mesin pengukur detak jantung yang semakin melemah. Ku genggam tangganya
yang lembut. Tangan itu diam dan dingin.
Perih sekali ketika menyadari bahwa tangan itu tak lagi mampu membalas
genggaman tanganku.
“Karin, bangun sayang, mama kangen. Mama kangen jalan
jalan dan bercerita lagi” ucapku sambil terus mengelus tangannya. Hanya itu
yang bisa kuucapkan. Tiba tiba tenggorokanku tercekata. Kulihat air mata
menetes dari sudut mata Karin.
“Kau bisa mendengar mama? Karin kangen mama? Ayo nak, Karin kuat, Karin pasti bisa sembuh”
kataku sambil terus meberikan sentuhan untuk merangsangaresponnya.
Tiba tiba tubuh Karin kejang dan bergetar hebat. Aku
menjerit keras. Para dokter dan perawat segera berlari kea rah kami.
“Ibu,tunggu di luar ya” kata dokter dengan cepat
sambil mengambil perlengkapan untuk melakukan tindakan pemberian rangsang
kejut.
Tubuhku bergetar hebat menyaksikan tubuh Karin yang kejang diantara wajah khawatir para
dokter. Aku berlari keluar, tak mampu
melihatnya lagi. Kuayunkan kakiku dengan sangat cepat menuju masjid yang tidak terlalu
jauh dari ruang NICU. Aku sudah tidak mampu melihatnya dalam kesakitan yang
sangat. Melihat tubuhnya bergetar dan kejang seperti itu, tidak ada
alasanku terus menahannya untuk terus
bersamak. Kuluruhhkan wajahku diatas sajadah . Aku pasrah. Hanya bisa
menyerahkan semua pada Allah tanpa ingin memainta apapun lagi. Aku tak mampu
berucap lagi. Tak mampu berharap lagi. Sudah
cukup, Ya Allah.
“Ya Allah, aku ikhlas. Ambil putriku dengan lembut. Hilangkan rasa sakitnya. Ambil Segera ya
Allah. Ambil segera, karena aku tahu dia akan lebih baik bersamaMu. ” Rintihku
berulang kali.
Kutengadahkan tanganku tinggi tinggi, berharap
malaikat segera mengambil doaku uuntuk dihaturkan segera ke sang maha penentu
takdir. Tepat saat kumandang adzan dhuhur dikumandangkan, tetiba suamiku
memasuki masjid dengan berlinang air mata dan memelukku erat.
“Ma, Karin sudah pergi, Karin sudah tidak sakit lagi,
Karin sudah berada surga bersama Prita”
Isak suamiku. Aku hanya bisa terpaku
dalam diam.
Terimakasih
ya Allah. Kau kabulkan doaku hanyya
dalam satu tarikan nafas.
Kepejamkan mataku, Kubuka mata batinku. Kulihat taman
surge yang indah dengan gemericik air yang lembut. Karin berlarian diantara
bunga surga, menghampiri kakanya yang telah menyambutnya di ujung taman itu.
Mereka tampak bersih dan bahagia dalam gaun putihnya. Tetiba Prita menoleh ke arahku sambil tersenyum dan
berbisik Mama jangan khawatir, ya. Kakak
akan jaga Karin.
Aku kembali tersungkur dalam sujudku. Hatiku dipenuhi
rasa takjub pada Sang Pencipta yang telah memilihku sebagai ibu dari dua bidadari surgaNya.
Tunggu kami
ya, Nak.Ayah dan Ibumu akan melayakkan diri untuk menemui kalian di pintu surga.
Nurul Wafia
Nurul
Wafia, tenaga pendidik di sebuah sekolah dan Universitas di kota Gresik. Ketertarikannya pada dunia public speaking , mengantarnya menjadi
salah satu motivator pendidikan dan host di beberapa podcast pendidikan. Perhatiannya
pada masalah pendidikan membuatnya tergabung di beberapa kelompok
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan.
Kesukaan
menulis sudah dimulai sejak SMA yang
diunggah di media sosial dan tergabung di beberapa buku antology. Sebagaian besar tulisannya mengisahkan kisah kisah nyata yang menginspirasi.
Memberikan kekuatan untuk bertahan dalam
kondisi yang sulit.
Facebook
: Nurul Wafiyah
Instagram
: Nuwafia
Nama
Cover : Nurul Wafia
Nama
di Sertifikat : Nurul Wafiyah
0 Comments