Muharningsih. (Dok. pribadi/IGIGresik)
IGIGresik-Keanekaragaman
budaya, ras, dan etnis di Indonesia telah menciptakan bermacam-macam bahasa yang digunakan sebagai
sarana komunikasi antaranggota masyarakatnya. Kondisi tersebut menyebabkan
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat bilingual bahkan multilingual. Sesungguhnya, banyak negara di seluruh dunia berpenduduk multilingual
dengan tiga atau empat bahasa yang dituturkan dalam kehidupan sehari-hari
(Hunt, 1973: 112). Hal itu selaras pula
dengan pendapat Poedjosoedarmo (1985: 526) bahwa masyarakat Indonesia sebagian
besarnya merupakan masyarakat yang bilingual. Situasi
kebahasaan seperti itu dipicu oleh adanya pemakaian dua atau lebih bahasa.
Bahasa
mempunyai ragam atau variasi yang digunakan oleh masyarakat penuturnya. Latar belakang sosial, budaya, dan situasi, masyarakat tutur dapat menentukan
penggunaan bahasanya. Situasi kebahasaan pada
masyarakat bilingual (dwibahasa) ataupun multilingual (multibahasa) sangat
menarik untuk diteliti dalam pandangan sosiolinguistik. Adanya
beberapa bahasa dalam interaksi verbal, serta perkembangan bahasa pada
masyarakat membuat penelitian pada bidang ini selalu menarik untuk terus
diteliti. Menurut Fishman (dalam Mutmainnah, 2008:2) pemilihan penggunaan
bahasa oleh penutur tidak terjadi secara acak, melainkan harus mempertimbangkan
beberapa faktor, antara lain siapa yang berbicara, siapa lawan bicaranya, topik
apa yang sedang dibicarakan, dan di mana peristiwa tutur itu terjadi.
Hasil
penelitian Abdul Wahab (2013) mengenai fenomena diglosia dalam masyarakat
keturana Arab Empang menunjukkan bahwa Masyarakat Keturunan Arab di Empang
memakai dua variasi bahasa Arab yakni bahasa Arab Fusha (BAF) atau bahasa Arab
ragam tinggi (H: high) dan bahasa
Arab Amiyah (BAA) atau bahasa Arab ragam rendah (L: low). Kedua variasi bahasa Arab ini hidup berdampingan dan
masing-masing mempunyai peranan tertentu. Adapun hasil
penelitian Lili Agustina (2014) tentang diglosia pada penutur bahasa Ngaju di
kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng, menunjukkan penutur
bahasa Ngaju merupakan bilingual dan multilingual. Hal ini
terlihat dengan beragamnya bahasa yang digunakan dan penguasaan dari
masing-masing penutur bahasa Ngaju.
Kabupaten
Gresik memiliki 18 kecamatan, salah satunya yaitu Kelurahan Kroman. Kelurahan Kroman memiliki garis teritorial bahasa, dimana kelurahan satu
dengan yang lainnya sangat terkait. Penggunaan bahasa Jawa,
Madura, Cina, dan Arab menjadi alat komunikasi dalam masyarakat Kelurahan
Kroman. Namun dalam penelitian ini, berfokus pada situasi diglosia penggunaan
antara bahasa Jawa dan Madura pada masyarakat Kelurahan Kroman, Kecamatan
Gresik, Kabupaten Gresik.
Diglosia
merupakan salah satu teori dari ilmu sosiolinguistik. Sosiolinguistik
adalah disiplin ilmu yang mempelajari dua hal; sosial (masyarakat) dan bahasa. Kajian ilmu ini adalah menganalisis pola atau tingkah masyarakat melalui
penggunaan bahasa pada masyarakat tersebut. Diglosia
diartikan sebagai suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional
atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada
di masyarakat.
Kata
diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie,
yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu
menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang
swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu
symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan
oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson
menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang
berjudul “diglosia”. Ferguson membuat sembilan poin dalam menganalisis fenomena diglosia di masyarakat. Poin-poin ini
yang mampu membedah keberadaan diglosia di masyarakat, dalam penelitian ini
juga menggunakan pendekatan sembilan poin diglosia dari Ferguson untuk
menganalisis diglosia bahasa Jawa dan Madura. Adapun sembilan poin tersebut
adalah sebagai berikut:
(a) Fungsi, merupakan
kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut ferguson dalam masyarakat
diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek
tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah
(disingkat dialek R atau ragam R).(b) Prestise,dalam masyarakat diglosis para
penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih
terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap
inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya. (c) Warisan kesusastraan, pada
tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat
kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat
bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan
ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya
sastra harus dalam ragam T. tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini
(setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap
berakar, baik di negara-negara berbahasa arab, bahasa Yunani, bahasa Prancis,
dan bahasa Jerman. (d) Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan mempelajarinya
dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan
keluarga dan teman-teman sepergaulan. (e) Standardisasi, ragam T dipandang
sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi
dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. (f) Stabilitas,
kestabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana
ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat
itu. (g) Gramatika, dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan
sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R
diangap artificial. (h) Leksikon, sebagian besar kosakata pada ragam T dan
ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada
pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya. (i) Fonologi, dalam bidang fonologi
ada perbedaan struktural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa
dekat bisa juga jauh.
Menurut
Kridalaksana (1976) ragam baku sebagai ragam tinggi digunakan dalam: komunikasi
resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang
yang dihormati. Sedangkan dalam ragam rendah digunakan dalam: tawar-menawar di
toko, ceramah dalam suasana tidak resmi, percakapan dengan sejawat, dan
percakapan dengan anggota keluarga.
METODE
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode atau
pendekatan eksploratif kualitatif dengan rancangan studi kasus. Menurut Brannen (Alsa, 2003) Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa
manusia adalah makhluk yang aktif, yang mempunyai kebebasan kemauan, yang
perilakunya hanya dapat difahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya tidak
didasarkan pada hukum sebab-akibat. Oleh sebab itu logis
jika penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif tidak bertujuan untuk
membuat hukum-hukum melainkan bertujuan untuk memahami objeknya.
Menurut
(Alsa, 2003) penelitian dengan rancangan studi kasus dilakukan untuk memperoleh
pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna sesuatu atau subjek yang
diteliti. Penelitian studi kasus lebih mementingkan
proses daripada hasil, lebih mementingkan konteks daripada variabel khusus,
lebih ditujukan untuk menemukan sesuatu daripada kebutuhan konfirmasi.
Pemahaman yang diperoleh dari studi kasus dapat secara langsung mempengaruhi
kebijakan, praktik dan penelitian berikutnya.
Sumber
data dalam penelitian ini yaitu terdiri dari dua sumber, (1) Sumber data
primer, data diperoleh secara langsung dari informan berupa bentuk peristiwa
tutur yang terjadi pada masyarakat di Kelurahan Kroman Kabupaten Gresik. (2) Sumber data sekunder, data diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian. Data berasal dari laporan-laporan, wawancara, dan arsip yang
terkait (hasil rekam dan catat). Teknik pengumpulan data dilengkapi dengan cara mengetahui faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi terjadinya masyarakat multilingual, data hasil wawancara akan
digunakan. Setelah data direkam dan dicatat, langkah selanjutnya yaitu
mengklasifikasikannya ke dalam berbagai tuturan yang ditemukan. Tuturan-tuturan itu
kemudian dianalisis.Upaya untuk mewujudkan hasil yang maksimal maka perlu
melakukan validasi terhadap instrument. Adapun instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: (1) pedoman
observasi, yaitu alat bantu yang digunakan ketika mengumpukan data melalui
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang diteliti.
(2) Pedoman wawancara, yaitu alat bantu yang digunakan ketika mengumpulkan data
melalui tanya-jawab dengan informan untuk mengetahui fokus penelitian.
Prosedur
pengumpulan data adalah adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan (Arikunto, 2010). Adapun
prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut. (1)
Metode observasi, pengamatan atau peninjauan secara cermat. Tujuan dari
dilaksanakannya observasi adalah untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan
permasalahan dan tujuan penelitian. Metode ini digunakan
untuk mengamati bagaimana penggunaan antara bahasa Jawa dan Madura pada
masyarakat Kelurahan Kroman. (2) Metode wawancaraadalah percakapan dengan maksud
tertentu, dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan
dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu (Moleong, 2011). Metode ini
menggunakan alat perekam suara dan gambar untuk mempermudah dalam pengambilan
data.Selain itu, alat tulis juga digunakan untuk memback-up wawancara dan juga
untuk merekam data yang selain suara yang tidak dapat direkam oleh alat perekam
suara selama wawancara berlangsung. Wawancara dalam penelitian ini digunakan
untuk menggali data-data penggunaan bahasa
Jawa dan Madura di masyarakat Kelurahan Kroman.
Teknik Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi. Data bisa dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman) dan biasanya diproses terlebih dahulu sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih-tulis), tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas, dan tidak menggunakan perhitungan matematis atau statistika sebagai alat bantu analisis. Menurut (Miles dan Huberman, 2009) mengatakan bahwa kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi sebagai sesuatu yang saling jalin menjalin merupakan proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum yang disebut “analisis”. Teknik analisis data yang digunakanpenelitian ini mencakup transkip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi. Hasil analisis data kemudian dapat ditarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa Jawa dan Madura pada Masyarakat
Kelurahan Kroman
Kelurahan
Kroman Kelurahan Kroman Kabupaten Gresik memiliki dua bahasa yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, yakni bahasa Jawa dan Madura.Bahasa Jawa yang
digunakan lebih pada bahasa Jawa ngoko dan krama madya. Hal ini menjadi ciri
khas orang Jawa Timur ketika berkomunikasi dengan orang lain. Kata “awakmu”
yang berarti kamu, digunakan untuk seseorang dengan tingkatan di bawah kita
seperti seseorang yang lebih muda. Kata tersebut hanya digunakan pada wilayah
Jawa Timur, berbeda dengan Jawa Tengah yang menggunakaan kata “kowe” (Jawa
ngoko). Penggunaan bahasa Jawa karma madya, pada masyarakat Kelurahan
Kromanlebih banyak menggunakan kata “sampeyan” dalam mengungkapkan kata kamu
untuk berkomunikasi dengan teman atau orang yang lebih tua.Namun, berbeda
dengan di Jawa Tengah kata “panjenengan” merupakan mengungkapan dari kata kamu.
Bahasa Jawa Krama Inggil jarang digunakan, hal ini dikarenakan penduduk
Kelurahan Kroman manyoritas adalah orang pendatang dari berbagai daerah
disekitar Gresik.
Bahasa
Madura yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Kroman adalah bahasa Madura
dengan tingkatan-tingkatan berdasarkan faktor usia, situasi ini hampir sama
dengan penggunaan bahasa Jawa seperti penjelasan sebelumnya. Contoh bahasa
Madura Enjek Eyeh, digunakan untuk teman sebaya dan saling mengenal “engkok minta ah pessenah” (saya minta
uangnya). Hal tersebut akan berbeda jika orang yang meminta uang jauh lebih tua
usinya dari yang diminta, “kauleh
nyo’onah ubeng” (saya minta uang). Tingkatan bahasa Madura yang ketiga
yaitu bahasa Enggi Bunten, bahasa ini digunkan pada orang yang lebih tua dan
merupakan bahasa yang paling sopan dibandingkan dengan tingkatan pertama dan
kedua. “Abdinah nyambut ubengngah”
(saya minta uangnya). Penggunaan bahasa dengan tingkatan ketiga ini biasa
dipakai dalam komunikasi wilayah kerajaan atau kraton saja sehingga jarang
bahkan hampir tidak digunakan dalam masyarakat Desa Kroman.
Masyarakat
Kelurahan Kroman lebih dominan menggunakan bahasa Jawa ketika mereka melakukan
transaksi bisnis seperti perdagangan. Para pedagang di pasar Gresik cenderung
menggunakan bahasa Jawa, hal ini dipengaruhi dua faktor.(1) Pasar Gresik merupakan salah satu pasar besar
yang ada di Kabupaten Gresik, sehingga banyak pembeli yang datang dari berbagai
pelosok kecamatan yang berada di Kabupaten Gresik.(2) Hampir marketing atau
pensuplai barang dagangan yang datang ke pasar adalah orang-orangyang berasal
dariSuarabaya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi,
sehingga pedagang pasar Gresik yang terdapat minoritas orang Madura harus
beradaptasi menguasai bahasa Jawa sebagai komunikasi dengan para marketing
tersebut. Salah satu tujuan dari penguasaan bahasa Jawa tersebut yaitu untuk
mendapatkan keringanan harga dan tagihan dari barang yang ditawarkan.
Namun,
apabila pedagang dan atau pembeli yang bahasa ibu adalah bahasa Madura,
makamereka saling berkomunikasi dengan bahasa Madura.
Jika melihat dominasi bahasa dalam masyarakat, bahasa Jawa merupakan bahasa yang paling besar digunakan dalam komunikasi sehari-hari.Hanya 40% bahasa Madura yang digunakan dalam wilayah tersebut.Hal itu dikarenakan, Kelurahan Kroman bersebelah langsung dengan Desa Belidan, yang mana Desa Belidan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Akan tetapi warga yang bahasa ibunya adalah bahasa Madura, mereka mampu berkomunikasi dengan bahasa Jawa.Namun, warga yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, mereka jarang menggunakan bahasa Madura.
Analisis Diglosia Ferguson pada Masyarakat
Kelurahan Kroman
Analalsis
dengan pendekatan Furgosen dengan bahasa Jawa adalah T dan bahasa Madura adalah
R maka bisa dijabarkan dalam beberapa poin diglosia yaitu sebagai berikut.
Fungsi
Bahwa
bahasa Jawa berfungsi sebagai komunikasi transaksi bisnis dikala mereka bertemu
dengan pelaku bisnis yang berbahasa Jawa. Bahasa Madura juga digunakan sebagian
kecil warga Kelurahan Kroman untuk melakukan transaksiperdagangan hanya kepada
sesama penutur bahasa Madura juga. Sedangkan
bahasa Madura digunakan sebagai komunikasi sehari-hari dikehidupan keluarga
bagi minoritas wargaKelurahan Kroman.
Prestise
Tidak
ada ragam tinggi (T) atau rendah (R) pada diglosia Jawa dan Madura di Kelurahan
Kroman. Posisi kedua bahasa tersebut sama dan tidak ada “derajat” bahasa.
Pemerolehan
Ragam
T diperoleh dari pergaulan bagi komunitas masyarakat yang menggunakan ragam R,
sedangkan komunitas ragam T memperoleh bahasanya dari bahasa ibu.
Standardisasi
Seperti
yang telah di jelaskan pada poin prestise bahwa tidak ada “derajat” diantara
ragam T dan R. Standarisasi pada ragam T dipandang sebagai ragam alat
komunikasi dalam berdagang atau bisnis sehingga penggunaan ragam T dominasinya
terjadi pada ruang lingkup jual beli di pasar Gresik.
Stabilitas
Diglosia
yang terjadi pada Kelurahan Kroman sudah berlangsung lama. Hal ini disebabkan
garis teritorial bahasa.Kelurahan Kroman bersebelahan dengan Desa Bedilan,
dimana masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Perubahan
komposisi masyarakat mengalami perubahan, tidak sedikit warga Bedilan yang
kemudian tinggal di Kelurahan Kroman, dengan alasan pernikahan, dan ekonomi. Sehingga
hal itu menyebabkan adanya penambahan masyarakat bahasa pada wilayah Kelurahan
Kroman.
Gramatika
Analilis
gramatika dari komposisi masyarakat diglosia Kelurahan Kroman, dapat
menjabarkan bahwa penggunaan ragam T jarang menggunakan ragam R untuk
berkomunikasi dengan masyarakat penggunaan ragam R. Walaupun sering ada
penggunaan ragam R oleh masyarakat ragam T tetapi tidak selaras dengan intonasi
kalimat ragam R. Hasilnya akan terdengar asing atau terlalu dipaksa. Sedangkan
pada masyarakat ragam R ketika menggunakan ragam T akan terdengar seperti
masyarakat ragam T dalam struktur kalimat dan intonasinya.
Leksikon
Hanya
sebagian kecil kosakata yang memiliki makna sama antara ragam R dan T. Salah
satu kosakata yang sering digunakan oleh kedua ragam tersebut dalam fungsi dan
makna yang sama, yakni menyetujui. Kosakata tersebut adalah “cacak” yang
artinya “kakak”. Secara keseluruhan kosakata dan gramatikal bahasa kedua ragam
tersebut memiliki perbedaan yang kuat. Seperti kata “Ow ye wes sakalangkong” dengan “oya
wis matur nuwun” kedua kosa kata ini memiliki makna sama yaitu menyatakan
terima kasih.
Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
SIMPULAN
Diglosia bahasa Jawa dan Madura pada masyarakat Kelurahan Kroman dapat disimpulkan: (1) pemakai bahasa Jawa dan Madura sama-sama menggunakan tingkatan dalam kedua bahasa tersebut. Masing-masing memiliki tiga tingkatan bahasa, namun yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari yaitu tingkatan pertama dan kedua saja. Bahasa Jawa digunakan dalam ranah transaksi perdagangan. Bahasa Madura digunakan dalam ranah perdagangan hanya untuk pelaku transaksi yang sama-sama pemakai bahasa Madura. Manyoritas bahasa yang digunakan dalam sehari-hari yaitu bahasa Jawa. (2) Struktur sosial dalam masyarakat tidak memengaruhi dalam penggunaan kedua bahasa tersebut.masyarakat yang bahasa ibunya adalah bahasa Madura hampir masyarakatnya mampu menggunakan bahasa Jawa dengan aksen dan itonasi mirip dengan pengguna bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Sedangkan masyarakat bahasa Jawa ketika menggunakan bahasa Madura terkendala dengan aksen dan intonasinya.
SARAN
Berdasarkan simpulan
tersebut, maka merekomendasikan perlu dikembangkan kerangka baru dalam
perencanaan bahasa yang relevan dengan fenomena permasalahan diglosia dan
bilingual yang berbasis partisipasi dan kesadaran masyarakat akan norma bahasa.
Perencanaan lebih diarahkan pada mengakomodasi bahasa daerah (Jawa dan Madura)
di lembaga-lembaga pendidikan formal sebagai mata pelajaran lokal untuk jawaban
atas tuntutan kebutuhan dalam interaksi sosial di wilayah tersebut. Tentu saja
upaya ini tidak dapat dipandang negatif dan untuk menilai bahasa daearah.
Bahkan sebaliknya upaya tersebut akan sangat membantu masyarakat utamanya
kalangan terdidik (guru dan murid) dalam mengatasi kesulitan komunikasi dengan
bahasa daerah masing-masing untuk kepentingan interaksi sosial dalam berbagai
situasi di masyarakat Kelurahan Kroman pada khusnya, dan Kabupaten Gresik pada
umumnya. Dengan demikian, akan dapat diketahui peran serta lembaga pendidikan
dalam memelihara keanekaragaman bahasa daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Alsa, A. (2003). Pendekatan
Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi.
Yogyakarta: PT Pustaka Belajar.
Agustina, Lili dan Zulkifli.(2012). Situasi Diglosia Pada Penutur Bahasa
Ngaju Di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng.Jurnal Pendidikan Program Studi Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.Universitas Lambung Mangkurat,2013-212.
Arikunto. (2010).Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
edisi rev. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Fasold, Ralph. (1984). The
Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua
A. (1991). Sosiologi Bahasa. Pulau
Pinang: Universiti Sains Malaysia.
Iryani, ending. (2017). Diglosia antara bahsa Jawa dan Sunda (Study Kasus
Masyarakat Bahasa Kecamatan Lemah Abang Kabupaten Cirebon).Jurnal Inovasi pendidikan MH. Thamrin (1),
1-6.
Kridalaksana,
Harimurti. (2011). Kamus Linguistik.
Jakarta: Gramedia.
Miles, M.B & Huberman. (2009). Analisis Data Kualitatif. (Tjetjep
Rohendi Rohadi, penerjemah). Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Moleong.(2011). Metode
Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Poedjosoedarmo, Soepomo dkk. (1985). Komponen
Tuturdalam Soenjono Dardjowidjojo (Ed.). Perkembangan Linguistik Indonesia. Jakarta: Penerbit Arcan.
Wahab, Laode Abdul. (2013). Fenomena Diglosia dalam Masyarakat Keturunan
Arab Empang.Jurnal Penelitian Pendidikan
Jurusan Tarbiyah STAIN KendariVol. 8 (2), 147-165.
Muharningsih, lahir di Semarang pada 25 Januari 1982. Penulis merupakan
pengurus IGI Kabupaten Gresik bidang literasi. Ia seorang editor jurnal
pendidikan WAHIDIN milik Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Gresik dan
masuk dalam pengurus Komunitas Nasional Pendidikan Kabupaten Gresik. Aktif
dalam kepengurusan organisasi dan komunitas pendidikan lantas tak membuatnya
lupa akan kegemarannya berliterasi. Literasi yang ia tekuni membuahkan hasil
dalam berbagai ajang kompetisi dengan meraih juara tingkat kabupaten, sampai
nasional. Terdapat puluhan karya tulisnya diterbitkan dalam jurnal pendidikan.
Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis yang berdomisili di Gresik melalui
surel pribadinya ningsih.muhar@gmail.com.
0 Comments